Sekitar tiga tahun yang lalu Drs. Nur Mufid, MA dari Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) datang ke saya dan menunjukkan sebuah manuskrip milik keluarganya yang tidak memiliki judul dan kolofon di dalamnya. Ini adalah awal ketertarikan saya terhadap dunia Intelektual Islam yang selama ini nyaris terabaikan. Kemudian pembicaraan berlanjut dengan kemungkinan masih disimpannya Manuskrip Islam Pesantren di beberapa pondok pesantren di Indonesia, terutama di propinsi Jawa Timur. Jawabnya "Mungkin masih ada, tapi tidak akan terlalu mudah untuk menemukannya.
Penelusuran the MIPES ternyata benar benar sulit, kalau tidak bisa dibilang ibarat mengurai benang kusut. Pondok pesantren yang diperkirakan masih menyimpan MIPES, seperti pondok pesantren Sidosermo, ternyata pengasuhnya tidak bisa memberi petunjuk. Pondok pesantren yang diinformasikan menyimpan MIPES ternyata sulit sekali membuka aksesnya. Apakah dugaan bahwa di pondok pesantren masih terdapat ratusan atau ribuan MIPES hanya isapan jempol? inilah yang mengusik pemikiran kita bertiga (lihat
the dream team). Melihat sulitnya menembus wilayah kultur pesantren, maka tim kemudian berinisiatif untuk menjadi titik simpul penyimpanan MIPES. Dalam pandangan kita, yang bisa mengetuk pintu pesantren adalah orang pesantren itu sendiri, yaitu kyai itu sendiri.
Penelusuran awal the MIPES bermula di Museum Sunan Giri yang baru saja dibangun oleh pemerintah Gresik, yang kita dapatkan adalah manuskrip Al-Qur'an dan beberapa jilid manuskrip yang berisi khutbah jum'at di Masjid Sunan Giri. Menurut penuturan petugas Museum, khutbah tersebut berisi ajaran Islam yang diajarkan oleh Sunan Giri. Sayangnya kita tidak diperkenankan untuk membukanya dan hanya melihat dibalik kaca. Kemudian kita datang ke kantor Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gresik untuk memperoleh informasi lebih lanjut jejak Manuskrip Islam yang ada di Kabupaten Gresik. Informasi diperoleh bahwa di desa Sorowiti Kabupaten Gresik juga terdapat Manuskrip Islam yang masih tersimpan rapi oleh penyimpannya.
Hasil penelusuran Manuskrip Islam tersebut kemudian memunculkan pemikiran baru, kenapa kita tidak menelusuri jejak tradisi Islam yang masih tersimpan di beberapa pondok pesantren? Terdapat beberapa pertimbangan subjektif kita pada saat itu. Pertama, dengan menjadikan pondok pesantren sebagai wilayah penelusuran berarti kita memiliki tujuan yang jelas. Kedua, dengan menelusuri jejak MIPES di pondok pesantren berarti langkah awal untuk menelusuri tradisi intelektual Islam di Indonesia sebelum munculnya
printing industry. Ketiga, ini yang menjadi kegusaran kita, bahwa kita kehilangan jejak dari sekian banyak karya ulama pesantren di Indonesia, berkeyakinan bahwa ulama pesantren adalah seorang yg
prolific, tapi hanya sedikit yang ditemukan jejak karyanya.
Keempat, seiring tradisi belajar di lingkungan pondok pesantren, kita berkeyakinan bahwa menelusuri MIPES berarti juga menelusuri jejaring ulama pondok pesantren.
Kelima, ini yang paling menarik dan menjadi wilayah penelitian yang masih perawan adalah mencari jawaban dari apakah telah terjadi proses pribumisasi dalam proses transmisi
Islamic Knowledge selama pembelajaran di lingkungan pondok pesantren. Proses penterjemahan Islam dengan setting lokal sesungguhnya sangat menarik untuk dicari buktinya dalam dokumen tertulis.
Maka berdasarkan hasil diskusi yang cukup lama, kita kemudian memantapkan diri untuk menjadikan MIPES (Manuskrip Islam Pesantren) sebagai obyek ekskavasi intelektual. Dan selanjutnya mengurai simpul jejaring MIPES yang masih serba tidak jelas. Awalnya kita memperoleh khabar bahwa di Pondok Pesantren Langitan masih terdapat sejumlah Masnuskrip Islam Pesantren. Secara kebetulan anggota tim peneliti kita Jeje Abdurrazaq merupakan kerabat Langitan. Klop sudah. Akhirnya kita mantap menjadikan Pondok Pesantren Langitan dan KH. Abdullah Faqih sebagai simpul utama penelusuran the MIPES. Bismillah kita berangkat kesana, dan pada saat yang sama Departemen Agama RI memiliki kegiatan penelusuran Manuskrip Islam Nusantara. Jadi ibaratnya menyelam sambil minum air.
Menjadikan KH. Abdullah Faqih sebagai simpul utama penelusuran jejak the MIPES bukannya tanpa alasan. Sebagai Kiyai Khas di kalangan NU Kyai Faqih memiliki posisi yang cukup disegani di kalangan pemimpin pesantren di lingkungan Nahdhatul Ulama, dan dengan demikian di harapkan mampu mencairkan hambatan yang selama ini kita temukan sebelumnya. Respon dan hasil yang kita dapatkan dari penelusuran di Pondok Pesantren Langitan sungguh di luar dugaan. Kita terharu bercampur gembira. Binggggggooo, dan tim peneliti berteriak, "
we got them" Kiai Faqih menyambut ide penelusuran, penyelamatan khazanah intelektual pesantren dengan sangat terbuka. bahkan berjanji akan berdiri di baris terdepan untuk mengetuk pintu para pemimpin pesantren untuk membuka khazanah yang masih tersimpan. Pondok Pesantren Langitan ternyata masih menyimpan 150 buah Manuskrip Islam Pesantren (kita sudah mengkodeks kan dalam
Kodeks Manuskrip Islam Pesantren Langitan dengan kode Lang). Dengan melakukan pelatihan singkat kepada beberapa santri senior, akhirnya MIPES dapat dikodeks kan secara keseluruhan.
Dari Pondok Langitan kita memperoleh informasi bahwa di Pondok Pesantren Senori Tuban pimpinan Alm KH. Abu Fadhal juga diperkirakan masih menyimpan beberapa MIPES. Kita menuju kesana dan memperoleh hasil yang sangat menggembirakan. Putra KH. Abu Fadlal, Kiyai Jalil menunjukkan beberapa MIPES yang dikarang oleh bapaknya dan belum diterbitkan dengan beberapa alasan.
We are going to see them next time.
Meskipun ide penelusuran the MIPES digodok di Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM) Surabaya, harus diakui bahwa keterlibatan tim peneliti dalam proyek penelitian manuskrip Islam Nusantara yang dibiayai oleh Balitbang Departemen Agama RI merupakan kegiatan yang sinergis.
To be continued